Anak Kucing Seri 1- Refleksi Prie GS -



Hubungan saya dengan kucing bukan hubungan yang mudah. Hubungan masa lalu saya dengan hewan ini agak muram nuansanya. Di masa kecil, saya melihat kakak lelaki saya marah sekali pada kucing kami karena ia memakan anak burung merpati kesayangannya. Kucing itu ia usir dari rumah, dan kemarahan kakak, rasanya kami setujui. Walau setelah tua begini, saya mungkin dituntut berpikir lebih adil, setidaknya tidak memihak. Bahwa saat itu, keluarga kami miskin sekali. Jangankan untuk memberi makan kucing, untuk menafkahi perut kami sendiri saja sulitnya setengah mati. Maka logis jika kucing yang lapar itu akan melahap apa saja, apalagi dasarnya ia memang binatang pemburu.

Sebagai orang miskin, tidak sulit bertetangga dengan orang miskin karena kebetulan, tetangga kami hampir seluruhnya miskin. Dan jika saya harus menjumpai kucing di antara kami, sama saja keadaannya. Ia selalu kucing yang dirawat oleh orang miskin yang pemandangannya khas belaka. Ia bisa berak di mana-mana. Dan setiap hari ada saja majikan yang murka pada kucingnya sendiri akibat gemar menyerobot apa saja yang ada di atas meja.

Aneka bentuk kemarahan itu masih jelas bisa saya gambarkan hingga hari ini karena begitu dramatiknya. Ada ibu-ibu yang dengan tongkat sapu teracung dan mengusir ke manapaun kucing itu berlari. Sumpah serapah makin merajalela ketika ayunan sapu itu sama sekali tak seimbang dengan kecepatan kucing yang setara dengan ninja. Saya sungguh bisa memahami kemarahan ini. Soal pukulan sapu yang luput ini adalah satu hal. Soal makanan di meja yang raib itu adalah soal lain. Soal kedua itulah yang menjadi sumber utamanya. Karena saat itu adalah saat ketika makanan benar-benar menjadi barang langka.

Untuk menunggu Ibu menanak nasi gaplek saja, harus menunggu sekian lama karena bahkan tepung gapleknya belum ada. Maka tempe dan ikan asin pun pasti sudah menjadi barang mewah, dan apa jadinya jika makanan semewah itu cuma dicuri kucing begitu saja.

Di atas kemiskinan, hubungan kucing dan majikan saat itu, benar-benar hubungan saling mendestruksi. Tak terbilang kuping saya mendengar kucing menyalak kesakitan akibat tendangan dan pukulan sapu. Hubungan kucing dan majikan masih terbatas sebagai hubungan saling mencuri dan melukai.

Jika ada sedikit kebaikan hubungan antara mereka, itupun sekadar berkurangnya kadar kekerasan tetapi tidak mengurangi kadar kejorokannya. Kucing bisa berak di mana-mana, kencing di tempat yang ia suka, tidur di mana saja dan bulu-bulunya yang berontokan bisa menempel di mana-mana.

Di hari ini, saya sama sekali tak bermaksud menyalahkan si kucing yang jorok dan gemar mencuri itu. Hewan ini pasti hanya sekadar menjadi sepenuhnya berwatak hewan karena kemiskinan dan ketidak pedulian majikan yang sedang sangat sibuk dengan penderitaan. Tetapi sungguh, warna hubungan semacam itulah yang bersemayam dengan baik di benak saya. Kucing menjadi tidak dekat dalam hidup saya. Jika kami terpaksa berhubungan, sama sekali miskin chemistry. Soul-nya tidak ketemu! Meksipun saya tidak sampai jatuh benci, tetapi jika boleh, saya memilih menghindar saja. Hingga saya menginjak remaja, pilihan sikap ini aman-aman saja dan lancar saya peragakan. Kepada kucing, saya cukup bersilaturahmi dari kejauhan.

Tetapi kelancaran ini tak bisa berlangsung lama. Karena ketika saya hendak menikah, syarat pertama yang diajukan oleh pernikahan ini seluruhnya ringan bagi saya kecuali satu: Ibu mertua kelak, boleh membawa serta kucing-kucingnya. Sebuah syarat yang diam-diam ternyata didukung istri saya. Sungguh sebuah keadaan yang sangat menguji cinta. Ujian lengkap akan saya tulis di kolom berikutnya!

(Prie GS/)

Terima kasih telah membaca artikel tentang Anak Kucing Seri 1- Refleksi Prie GS - di blog Refleksi Prie GS bila artikel ini bermanfaat silahkan bookmark halaman ini di web browser anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :