REFLEKSI PRIE GS- Selimut Pertama

Selimut Pertama - Ketika aku memasuki masa SMA ada dua kakak perempuan penting dalam hidupku. Pertama adalah kakak perempuanku kedua kakak ipar perempuanku. Yang pertama Suwarti, kedua Sumirah. Pertama sebagai guru, kedua ibu rumah tangga dan istri seorang sopir.

Sebelum kakak perempuanku mengambil alih biayaku SMA di tahun ketiga, tahun pertama kumulai dengan ikut kakak iparku ini. Di sebuah kontrakan kamar rumah petak dengan sekotak sekat sebagai kamar tidurku. Tak terkira sabarnya kedua kakakku yang hidup sangat sederhana ini dengan menanggung biaya SMA ku. Bahkan untuk berhemat, kakak harus bersepeda berangkat dan pulang kerja. Kerjaku adalah mengambil air dan momong keponakanku. Berat karena lelah fisik tapi ganjarannya sungguh indah: tidurku selalu nyenyak. Kini aku jarang bisa tidur seelok itu.

Tapi menginjak tahun kedua, kakakku menyemangati aku untuk kos karena transportku setiap hari mulai memberatkan penghasilannya sebagai sopir. Aku setuju. Dan tahun kedua aku mencoba bereksperimen dengan hidup. Tahun kedua itu ajaib; aku hidup dari kebaikan teman-teman sekolahku. Ada saja teman baik yang mengajak tidur di rumahnya dan ini berarti makan gratis. Dalam seminggu ada empat sampai lima teman kuantre bergiliran dan mereka gembira pada setiap kedatanganku. Di etape ini aku mulai belajar pentingnya diterima disukai.

Tapi yang hendak kuceritakan kali ini bukan itu, melainkan cara kakak iparku itu melepasku. Ia tampak menahan isak karena rasa bersalah. Saat aku dia lepas itu, ia membekaliku bekal-bekal sederhana tapi itulah harta terbaik yang ia punya. Salah satunya adalah selimut lurik yang menurutku sangat mewah di masa itu. Itulah selimut paling selimut di kala itu. Sampai saat ini, setiap melihat selimut serupa, kasih sayang kakak iparku itu berpendaran.

Setelah sekian tahun kudapat bocoran, sejenak setelah aku pergi konon ia menelungkup di kamar dengan tangis tak tertahankan. Ia meratapi kepergianku dengan iba yang sangat juga dengan keterpaksaan yang sangat. Selimut itu menemaniku merampungkan SMA dan cerita kemudian adalah sederet kasih sayangnya yang mengalir indah tak cuma kepadaku tapi juga kepada istri dan anak-anakku.

“Sambal bu dhe,” begitulah teriak putriku tiap kami menengoknya. Sambal buatannya khusus untuk kami adalah daya tarik yang memukau saat kami menengok di kediamannya yang sederhana. Kedua kakakku itu kini telah tiada. Yang pertama telah lebih setahun lalu. Yang kedua baru saja. Di makamkan siang tadi, bersamaan dengan demo di Jakarta. Siang itu aku menengok, di kuburan yang sama, kubur ayahku, kakak keduaku dan terakhir pemberi selimut itu. Sampai kuburan lengang aku masih menahan diri. Sampai terdengar azan shalat Jumat di kejauhan. Semua dari kita akan bergiliran menuju panggilan.
Terima kasih telah membaca artikel tentang REFLEKSI PRIE GS- Selimut Pertama di blog Refleksi Prie GS bila artikel ini bermanfaat silahkan bookmark halaman ini di web browser anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :