REFLEKSI PRIE GS : Tunas Nanas

Tunas Nanas - Pohon buah nanas di depan rumah itu sangat emosional bagi saya. Setiap kali ia menjadi hiburan karena nilai sejarahnya yang tinggi bagi hidup saya. Ia pohon yang semula berasal dari buah kebun kakak perempuan saya di kampung sana. Setiap panen sesuatu di kebun kecil itu ada saja yang dikirim ke rumah termasuk nanas ini.

Hanya tiga buah saja saat itu. Tapi memang bukan jumlahnya melainkan bentuk kekhususan kakak pada adiknya. Sentuhan semacam itu dari seorang kakak sungguh sangat terasa apalagi ketika kedua orang tua kami telah tiada. Tetapi kakak saya itu kini juga telah tiada. Tak lama setelah kuncup nanas itu kami tanam di depan rumah sebagai hiasan. Kuncup itu hidup dengam baik. Dalam hitungan bulan ia malah berbuah dengan sempurna. Setiap melihat pohon nanas ini seluruh ingatan pada kakak saya itu berpendaran. Ada indah ada haru. Rumah adalah museum yang kaya raya atas sejarah penghuninya.

Saya makin takjub ketika pohon itu berbuah. Buah yang elok sempurna jika bandingannya adalah lahan yang seadanya dan bermaksud sebagai hiasan pula. Buah ini saya ikuti pertumbuhannya dengan baik sampai dahan penyangganya kepayahan dan buah itu akhirnya rebah. Sampai benar-benar menguning tua ia baru benar-benar kami panen. Tak sembarang memanen karena harus melewati persaksian keluarga, terutama putri saya. Masih saya ingat bagaimana ia marah dan mengunci pintu kamar saat pohon kersen depan rumah kami pangkas dahannya tanpa ia saya beri tahu. Saya belajar dari kesalahan itu.

Pada akhirnya, buah ini hanya saya saja yang memakannya. Anggota keluarga lain bisa tak suka, bisa juga karena mengerti emosi saya. Saya pun memakannya dengam cara seksama. Memotong hanya sedikit dengan masuk kulkas sisanya. Rasa yang menurut saya sangat nanas. Tidak sepenuhnya manis tapi masih menyisakan asam secukupnya. Itulah rasa nanas semestinya.

Keawaman saya atas pohon nanas membuat saya sempat cemas: adakah setelah berbuah pohon ini akan mati. Sekali setelah itu mati. Jika benar begitu usailah kenangan atas kakak saya tercinta. Tetapi saya membesarkan hati. Jangankan hanya kenangan. Bahkan diri saya sendiri pun fana. Maka ketika nanas ini sekali berbuah lalu mati, apaboleh buat. Seluruh yang tak abadi memang harus dilepaskan.
Tapi sebelum saya benar-benar merelakan diri, saat buah ini menua, ada putik aneh di batang pohon ini. Itulah anak generasi si nanas. Setiap induknya menua dan mati pohon ini telah menyiapkan alih generasi. Saya termangu di sebelah nanas ini. Pohon sederhana tetapi kesiapannya pada masa depan rapi sekali. Saya termangu dan malu.
Terima kasih telah membaca artikel tentang REFLEKSI PRIE GS : Tunas Nanas di blog Refleksi Prie GS bila artikel ini bermanfaat silahkan bookmark halaman ini di web browser anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :