Seyogianya setiap kampus adalah kampus
konservasi, mengingat setiap dari kita sedang menghadapi darurat
ekologi. Jika sebuah industri masuk ke daerah, hampir seluruh
pemberitaan media fokus kepada investasi dan bukan kepada berapa hektar
sawah yang lenyap. Memang begitulah cara pikir negara puber, yang
menafsirkan kemajuan dari banyaknya pabrik. Menjadi pekerja, menjadi
buruh, sudah cukup bagi masyarakat bertarget rendah. Jadi yang lebih
berbahaya dari sudut pandang seperti ini bukan hanya penyusutan lahan,
melainkan penyusutan orientasi kejiwaan masyarakat. Saat pabrik-pabrik
masuk yang terbayang adalah kesempatan kerja dan cukup sebagai
buruh-buruhnya. Petani silakan menjual sawah dan ladang untuk diserahkan
kepada pemodal dan kita tidak pernah tahu di belakang pemodal itu
bernama siapa.
Di setiap pengalaman masuk beberapa kampus, saya
sudah bersyukur dengan kerimbunannya, tetapi masih risau pada teknologi
pengolahan sampahnya. Dibakar adalah pemandangan yang lazim. Jadi
sementara mahasiswa belajar di kelas, asap bisa mengepung mereka dan
anehnya seperti tak ada yang risau, bahkan mahasiwa itu sendiri. Jadi
semaju apapun sebuah kampus, jika masih begini sikapnya pada sampah,
sebetulnya masih ada jiwanya yang terbelah. Secara gedung dan buku telah
bergerak maju, tetapi sebagian bawah sadarnya masih berada di wilayah
masa kecil saya dulu, ketika reaksi kita kepada alam masih sangat
instinktif dan naluriah.
Belum lama ini saya menengok keponakan
yang menjadi guru tidak tetap di sebuah SMK di Kecamatan Patean, Kendal.
Saya dipameri aneka tanaman hasil budidaya sekolah ini. Betapa, ya
betapa, cukup hanya dengan bersekolah di SMK ini saja, Indonesia tak
perlu risau pada krisis pangan. Tetapi adakah anak-anak di sekolah ini
bangga pada sekolahnya, adakah guru-gurunya juga bangga, adakah negara
juga bangga padanya? Saya terkejut, sekolah yang menurut saya sangat
produktif ini ternyata tak punya lahan pertaniannya sendiri. Revolusi
mental yang gegap gempita itu rasanya harus menjangkau kehidupan riil
seperti ini. Jargon itu, sepeti galibnya sebuah jargon, akan terancam
gagah sebagai tulisan di spanduk dan aneka baliho.
Di pojok
sekolah ini, dengan diantar oleh guru tak tetap pula, saya dipameri hasi
kerja berikutnya. Hasil kerja yang lama saya tanyakan di dalam hati,
menyangkut soal kebiasaan membakar sampah yang terkenal itu. Ia
menunjukkan bangunan, kira-kira sebesar pos kamling dengan tinggi
sekitar empat meter, yang ternyata itulah pengolahan asap menjadi asap
cair. Asap cair itulah yang bisa difungsikan sebagai pestisida alamiah.
Membakar tanpa asap dan berbuah berkah. Begitu sederhana ternyata
menghentikan bakar-bakaran sembarangan itu. Bukan cuma sederhana tetapi
juga demikian produktif hasilnya. Jadi jelas, bangsa ini tidak
kekurangan orang ahli, tidak kekurangan teknologi, tetapi hanya
kekurangan sikap peduli dan kesungguhannya sebagai bangsa. Di
kampus-kampus yang luas itu, saya jarang menemukan bangunan sederhana
yang saya rindukan, yang ternyata cukup dibangun oleh seorang guru
bantu, lulusan SMK ini.
Terima kasih telah membaca artikel tentang Inspirasi PrieGS: Kampus Konservasi di blog Refleksi Prie GS bila artikel ini bermanfaat silahkan bookmark halaman ini di web browser anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.