REFLEKSI PRIE GS : Berdamai dengan Humor

Berdamai dengan Humor - Semakin bertambah usia, semakin saya belajar berdamai dengan humor. Humor di masa muda saya terasa penuh beban dan tuntutan. Saya baru bisa tertawa jika sebuah humor lolos Verifikasi, itupun sebatas verifikasi intelektual. Karenanya, humor, jika tidak memenuhi kaidah intelektual akan saya anggap sebuah humor murah dan tak cukup berharga. Dalam keadaan semacam itu, syaraf humor saya menjadi tegang. Banyak jenis humor bukan menghibur tetapi malah menimbulkan kemarahan.

Humor intelektual itu, celakanya agak sulit saya temui di sekitar saya. Kalau pun ada, jumlahnya terbatas sekali. Terbanyak adalah humor yang kehadirannya sudah saya duga, bahkan sampa pada tanda-tanda fisiknya. Jika seorang ingin dianggap pelawak maka ia harus memakai kumis sebelah dan ditempel tepat di tengah. Rumus melucu juga adalah rumus yang telah saya lihat sejak saya kecil. Adegan kecebur got, muka terbenam di adonan kue tart sampai seseorang yang jatuh lalu terperosok di kotoran kerbau.

Pada saat saya kecil, adegan-adegan tersebut benar-benar menimbulkan ledakan tawa yang luar biasa. Pada saat saya remaja, adegan itu masih saja ditertawakan secara gegap gempita. Hebatnya, ketika saya menua, humor semacam itu masih saja menimbulkan ledakan gelak tawa. Pada awalnya saya betanya dengan marah. Ada apa dengan bangsa saya ini? Mengapa sumber tawa bisa menetap semacam ini dan kita merasa baik-baik saja.

Untunglah, pada saat saya menua, muncul guru yang mengajari saya tentang humor dalam pandangan yang lebih baru, lebih luwes dan bijaksana. Bahwa humor bukan hanya persoalan intelektual melainkan juga emosional dan spiritual. Di dua ranah humor itu, ketegangan saya mereda secara drastis dan mulai cenderung menatap humor dengan gembira, apapun bentuknya. Siapa guru yang amat berjasa itu?

Ternyata ia adalah figur yang tak terbayangkan, yakni istri saya. Di tengah penatnya mengurus keluarga, istri sering diam-diam melemaskan ketegangan dengan menonton tayangan-tayangan komedi di televisi. Tayangan yang di masa muda saya pasti menjadi persoalan intelektual. Tetapi kini, demi melihat istri saya bahgia, ia lepas tertawa dan melupakan kepenatannya, membuat saya berterimaksih pada tayangan itu. Humor ternyata adalah soal yang tidak harus ‘’seintelektual’’ yang saya syaratkan walaupun humor memang membutuhkan intelektualitas.

Tetapi demi melihat ada pleseten superhero, yakni Superman membeli mi ayam di pinggir jalan dan lupa membayar karena keburu ingin terbang, melihat Spiderman menganggur dan sepi pekerjaan dan akhirnya hanya bekerja serabutan menjadi tukang entas jemuran, sungguh parodi yang menghibur lepas bahwa akting pemain-pemainnya memang berlebihan.

Di masa muda saya soal-soal kekurangan itu akan saya urus dengan tegang dan sungguh-sungguh. Di umur saya yang sekarang, setelah lebih 50 tahun, soal-soal semacam itu dengan mudah saya maafkan. Mengapa demikian? Karena saya tiba-tiba menjadi mudah fokus pada jasa tayangan itu dalam menggembirakan istri saya. Itulah barangkali yang disebut ‘’humor spiritual’’.
Terima kasih telah membaca artikel tentang REFLEKSI PRIE GS : Berdamai dengan Humor di blog Refleksi Prie GS bila artikel ini bermanfaat silahkan bookmark halaman ini di web browser anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :