Bubur Skotel - Refleksi Prie GS -

Memasak sebagai seni sebetulnya sudah berlangsung sejak lama. Penemuan onde-onde, klepon, nagasari, srundeng dan semacamnya dalam khanasah makanan Jawa adalah peristiwa kesenian yang unik. Makanan sebagai gabungan seni, akulturasi kebudayaan dan pengetahuan ilmiah juga tercermin dari penemuan tauge, trasi dan tape. Jadi makan memang tidak cuma soal urusan perut tetapi juga pengetahuan dan kesenian.

Tetapi gerak makanan itu kini meluas lagi yakni makanan sebagai pertunjukkan. Akhirnya memasak menjadi hiburan dan akibatnya keluarga saya menjadi korban. Tiba-tiba seni mengumpulkan resep meninggi di rumah kami. Anak-anak dan istri jadi sering berkerumun di depan TV sambil sesekali berteriak wuaaaa yummyyy… . Makin lama mereka tidak cuma berteriak tetapi jua berburu makanan seperti yang dimasak di TV itu. Hampir saja saya marah saat suatu hari harus mengantar mereka membeli sejenis roti yang ternyata harus di masak lama sekali, dan setelah keluar ternyata roti itu cuma seukuran jempol kaki. Bentuknya bena-benar tidak sepadan dengan lamanya kami menungu. Menurut saya, rasanya sama sekali tak istimewa dibanding penderitaan saya menahan kesal begitu lama.

Tapi makanan yang membuat saya marah itu, adalah makanan yang menakjubakan anak-anak saya. Mereka takjub pada hiasannya, pada prosesnya, pada bahannya, dan pada seluruh soal-soal yang sama sekali tak menarik hati saya. Bagi saya, makanan itu soal kenyang, kunyah dan telan belaka. Tapi bagi mereka, makanan telah menjadi sesuatu yang tak melulu dikaitkan cuma dengan lapar. Lapar pun mereka rela menungu kalau resepnya belum ketemu, kalau bahannya kurang satu, kalau bumbunya tidak yang itu, dan seterusnya.

Tapi tak mungkin saya mencegah mereka mengurus kesibukan yang tidak menarik minat saya itu. Lagi pula saya tak mungkin melawan dua anak plus ibunya, satu lawan tiga, kalah suara. Begitu saya baru mau angkat bicara, serempak mereka sudah mebantahnya. Akhirnya saya biarkan saja kesibukan itu, dan katimbang kesepian saya pura-pura ikut gembira walau dengan perasaan menderita. Sampai suatu kali istri saya, dengan dukungan anak-anak tentu, akan mencoba memasak skotel seperti di acara TV yang mereka tonton. Semuanya sibuk dan berkeringat di dapur, dengan saya sok mondar-mandir ikut sibuk cuma demi kepanatasan saja. Singkat cerita, rampung juga ramuan ini dibuat. Tapi menjelang babak –babak akhir, istri mulai terlihat gelisah karena ternyata ia tak punya alat yang pemanggangan yang semestinya. Skotel itu gagal matang dan pejal seperti lazimnya, melainkan malah menjadi bubur dengan bentuk acak-acakan tak terkendali. Istri tampak terpukul. Bubur sktotel ini seolah-olah mempermalukan seluruh reputasinya.

Anehnya, saya sama sekali tidak terganggu dengan apa yang ia sebut kegagalan pemanggangan. Saya malah tak sabar untuk mengambil sendok dan menyantap makanan yang belum pernah saya kenal ini. Enak. Selanjutnya saya sibuk melahap makanan ini tak peduli apakah ia skotel padat atau skotel cair. Sementara istri sibuk dengan perasaan galau atas kegagalan masakannya, saya sibuk menambah lagi bubur lezat ini. Jadi konsentrasi orang itu berbeda-beda. Itulah kenapa sumber kesedihan dan kegembiraan manusia juga berbeda-beda. (Prie GS)

Terima kasih telah membaca artikel tentang Bubur Skotel - Refleksi Prie GS - di blog Refleksi Prie GS bila artikel ini bermanfaat silahkan bookmark halaman ini di web browser anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :