Hujan-Hujanan seri 1 - Refleksi Prie GS -


Hari-hari ketika aku menulis kolom ini, adalah hari yang mulai banyak mendatangkan rasa sakit di kepalaku. Penyebab pertama yang mudah kuduga adalah merambatnya usia. Aku pernah ketemu penyair Sutarji Coulzum Bachri bertahun lalu. Ketika kutanyakan apa kabar kepadanya, jawabannya mengesankan hatiku. "Ya jika sudah seumur aku, penyakit mulai datang dari berbagai penjuru," katanya saat itu.

Umur Tarji saat itu, bisa jadi adalah umurku kini. Maka apa yang dia alami saat itu, layak aku alami di hari ini. Menjadi tua adalah juga kesiapan menjadi sakit. Walau rasanya aku terlalu mendramatisir umur. Karena sebetulnya aku masih muda, dalam pengertian, masih layak menjadi sehat sebetulnya. Karena banyak orang yang lebih tua, bisa lebih sehat dariku. Apalagi kalau aku melihat film-film kungfu. Semakin putih rambut mereka, malah semakin bertambah saja kesaktiannya. Jadi menjadi tua dan sehat, bukanlah soal yang luar biasa.

Maka dugaanku kemudian jatuh pada pola makanku. Sangat sulit untuk tidak memakan makanan kesukaan. Padahal dari seluruh apa yang kusukai sedikit sekali yang diakui sehat oleh pakar gizi. Misalnya saja aku sangat menyukai krupuk. Makan tanpa krupuk bagiku adalah musibah. Padahal aku ngerti cara bikinnya, cara njemurnya, cara nggorengnya sekaligus mutu minyaknya. Jika ukurannya akal sehat, makanan ini hampir tak ada gunanya. Tetapi begitulah krupuk. Ketika dimakan akal sehatku berhenti bekerja. Ia mendatangkan sensasi karena di mulut ramai sekali.

Tapi inilah dilema makan: yang baik di lidah itu malah suka buruk di perut. Padahal krupuk ini tidak sendiri. Aku juga menyukai sambal dan ikan asin. Kalaupun seluruh lauk di dunia ini tak ada, asal ketiganya tersedia, hidupku masih mudah bahagia. Seluruh gaya makanku hingga seusia ini, begitu kucari rujukannya di buku-buku kesehatan, semua hanya berarti bunuh diri. Apalagi jika aku ikuti gaya diet ala Anthony Robbins. Seluruh kebiasaan makan rakyat di negaraku telah serupa kejahatan pada diri sendiri. Maka ia harus dibatalkan. Tapi ini jelas tidak mungin karena ia setara dengan menggugurkan tradisi. Jadi denga kualitas makan seperti ini, sulit mengharapakan kesehatan yang baik. Maka pusing di kepalaku yang kerap datang itu, leher yang mengeras seperti kemasukan batang kayu itu, adalah soal yang menjadi upah bagi kesalahanku.

Walau ketika aku mengingat nenekku, keraguan mulai mengggoda hatiku. Jika makanku hari ini sudah berkategori buruk maka gaya makan nenekku saat itu pasti sudah amat buruk. Setahuku, nenek makan cuma sekenanya karena yang dimakan sering tidak ada. Nasi dari tepung gaplek itu biasa. Makanan seburuk itupun ia makan setelah menunggu kenyang semua cucunya. Aku tidak tahu, kenapa dengan pola makan seperti itu, Nenek jarang sekali sakit. Ketika hari kematiannya tiba, ia sakit cuma sewajarnya. Cepat dan mudah. Waktu itu tokoh seperti Ade Rai jelas belum menjadi ahli otot dan pakar diet seperti sekarang ini. Tetapi nenek seperti telah berhasil menemukan manajemen kesehatan dengan sistem yang sungguh layak diselidiki. Dugaan sementaraku, walau buruk makanan, tetetapi jika baik kelakuan, bisa jadi akan mendatangkan kesehatan. Aku tidak tahu, apakah teori ini layak dibenarkan.

Soalnya, seluruh sifat nenekku memang mengesankan hatiku. Selama jadi cucunya, tak pernah sekalipun aku mendengar satu saja kata kasar lepas dari mulutnya. Saat itu, aku suka sekali menelusup di ketiak jika ingin dimanja. Bayangkan, tanpa deodoran saya betah di ketiaknya berlama-lama. Jangan-jangan kebaikan hati seseorang juga akan mentralkan bau ketiaknya. Kalau ini benar maka sakit kepalaku itu pasti gabungan dari bermacam-macam kemungkinan: usiaku, buruknya pola makan, sekaligus buruknya kelakuan. Padahal ini belum semuanya karena ada satu lagi penyebab yang tak boleh diabaikan yakni: pola pekerjaan. Hidup yang melulu tersita untuk bekerja, sampai melupakan pola istirahat dan olah raga.

Tegasnya aku memiliki seluruh faktor strategis pengundang sakit. Tapi tentu rumit sekali jika harus meneliti seluruhnya. Maka aku ingin menyederhanakan menjadi satu dugaan saja: jangan-jangan sakit di kepalaku ini karena sekadar kurang istirahat dan terlalu lelah bekerja. Lalu apa hubungannya dengan hujan-hujanan yang telah aku jadikan judul tulisan? Akan aku ceritakan pekan depan.(Prie GS/)

Terima kasih telah membaca artikel tentang Hujan-Hujanan seri 1 - Refleksi Prie GS - di blog Refleksi Prie GS bila artikel ini bermanfaat silahkan bookmark halaman ini di web browser anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :