REFLEKSI PRIE GS - Tak
sengaja saya melihat tayangan televisi Korea ini, bukan acara istimewa
karena acara serupa telah dikloning menjadi acara di televisi mana saja
hampnr di Negara mana saja: kontes penyanyi idola. Tetapi saya tertahan
karena komentar para jurinya. Ada tiga juri di sana, semua orang-orang
muda dan agaknya adalah para idola di negaranya. Saya tak peduli apakah
mereka idola atau bukan, saya hanya peduli bagaimana mereka
mengekspresikan gagasannya dan terpenting karakternya sebagai penilai.
Ilustrasi Juri Idol |
Adegan dimulai dari latar belakang calon artis yang penuh suka duka
untuk sampai di tahapannya. Adegan ini sukses sebagai sebuah melo-drama.
Tangisan, sebagai bagian dari dagangan acara ini telah pecah di
sana-sini. Psikologinya jelas, jika sampai juri mengganjal peserta yang
telah mengharubiru publik, mereka akan menjadi musuh bersama. Dugaan
saya, juri akan kalah oleh tekanan publik.
Tak saya duga, juri
pertama mengambil posisinya dengan tenang. Peserta kontes itu menurut
saya tidak buruk. Ditambah belas kasihan juri dan pembelaan publik,
jelas sudah hasilnya. Pasti lolos. Tetapi juri pertama ini seorang yang
teliti: "Lagu yang kau bawakan adalah lagu yang sangat umum. Dan kau
gagal memberinya ledakan," kata juri yang masih muda ini dengan
ketenangan seorang pengadil, cermat dan dalam. "Kau nyaris tanpa
emosi," tambahnya. "Dan saya berkata tidak untuk ini," vonisnya.
Bukan cuma si kontestan yang kaget, penonton juga kaget dan anehnya saya
juga ikut kaget.
Kejam sekali juri ini, pikir saya. Tapi sulit
bagi saya untuk tidak setuju pada pendapatnya. Saya pernah belajar musik
walau tidak mendalam. Saya menyangka, pandangan saya cukup meloloskan
peserta ini karena memang tidak buruk. Tapi pandangan juri muda ini
menyadarakan saya bahwa ia paham lebih dalam, untuk itulah ia ada di
kursinya. Bahwa dalam sebuah kontes yang keras sepeti itu, baik saja
tidak cukup. Ia harus istimewa. Juri ini dengan jelas menyadarkan saya
atas pandangan saya yang awam ini. Juri semacam itu sungguh membuat
sebuah lomba bermartabat. Ia hanya tunduk pada kompetensi, tidak tunduk
pada tekanan penonton dan tidak terpengaruh pada melankolia suasana. Dan
kaget saya yang lain ialah, penonton di lomba ini seperti mendaulat
penuh pada keputusan juri. Tak ada teriakan huuuu saat juri mengritik
idolanya.
Juri kedua meloloskan peserta ini tidak karena tekanan
apapun. Tetapi karena alasan yang rasional dan mendidik. Peserta ini
ketakutan mengambil nada-nada tinggi sehingga ia kesulitan menghidupkan
lagi. Juri kedua ini memintanya mengulang bagaian refrain lagu dengan
pendekatan berbeda. Jika berhasil ia akan memberinya kesempatan, jika
tidak kariernya terhenti. Dan peserta ini berhasil. Penonton lega. Tak
ada makan siang yang gratis. Dan peserta ini membayar makan siangnya.
Tinggal juri ketiga sebagai penentu. Juri ketiga ini keras dan galak.
Tapi lagi-lagi saya harus terkejut pada piihan moralnya. Terjemahan
bebasnya ialah: "Saya sebetulnya kesal padamu. Soal nada tinggi itu
adah soal yang telah kami kritik sejak dulu. Tapi kau tak ambil pelajaran.
Sekali ini kami beri kesempatan. Tapi sekali ini. Tidak untuk lain
kali."
Peserta ini lolos. Semua gembira, termasuk saya. Saya
gembira terutama melihat moral mendidik tiga juri ini. Korea tak hanya
maju dibidang industri, tetapi sangup melahirkan anak-anak muda dengan
kecerdasan dan terutama karakter seperti ini. Negara yang sanggup
membawa generasi mudanya berkarakter itulah yang saya iri. Mereka bukan
juri yang dengan gampang berkata: "Luar basa. Kamu memukau. Saya sampai
tak bisa berkomentar."
Ya kalau berkomentar saja tak bisa, sebaiknya
memang tak jadi juri.
SUMBER:
Tabloid Cempaka
Terima kasih telah membaca artikel tentang Refleksi Prie GS : Juri Idol di blog Refleksi Prie GS bila artikel ini bermanfaat silahkan bookmark halaman ini di web browser anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.