Saat DPR pecah dan ada sebutan DPR tandingan, entah kenapa, secara naluriah, sebagai rakyat saya sama sekali tidak cemas
kepada nasib politik Indonesia. Padahal konflik semacam itu mengandung
bencana sistemis karena di atas kertas, sistem tata kelola negara
terancam lumpuh. Tetapi naluri saya sebagai rakyat yang hidup dalam
sebuah sub kultur tertentu sungguh terlatih memahani konteks ini.
Sejak kecil saya akrab dengan budaya ancaman. Makin bertambah umur
saya, makin berat ancamannya. Tetapi seluruh ancaman itu ternyata hanya
gertakan. Siapa pengancamnya? Terbanyak adalah orang tua. Kalau saya
nakal, Ibu terbiasa mengancam akan membawa saya ke Pak Mantri suntik.
Tetapi faktanya, suntikan semacam itu tak pernah ada. Jangankan untuk membayar mantri, untuk makan sehari-hari saja serba darurat. Suntikan
itu barang mewah dan hanya dilakukan kalau benar-benar kami dalam
keadaan sakit. Bukan sakit sembarang sakit tetapi sakit yang sudah lagi
tak bisa sembuh dengar kompres daun dadap atau minum air kendi yang
telah didinginkan semalaman di lapangan. Itu adalah prosedur
pengobatan yang biasa dilakukan ayah sebagai UGD keluarga.
Jadi
suntikan sebagai eksekusi dari ancaman itu tak pernah benar-benar
terjadi dan karenanya saya terlatih untuk menganggapnya sepi. Saat SMA
ancaman itu jauh lebih besar lagi. Misalnya karena saya dianggap tak tau
diri, uang saku dari saudara akan berhenti. Tetapi pada kenyataannya,
ancaman itu juga tak pernah dieksekusi. Pada akhirnya para saudara itu tak
tega juga. Ketidaktegaan semacam ini berserak di mana-mana di sekitar
hidup saya. Ia hidup secara sosial dan kultural. Itulah kebudayaan yang
sampai menemukan mantera yang terkenal di dalam kebudayaan saya yakni: tega sakitnya, tak tega matinya.
Maka saat DPR tandingan itu dideklarasikan, ia mengingatkan
ancaman Ibu saya tentang jarum suntik, tentang ayah yang marah karena
saya kedapatan mandi di sungai dan menakut-nakuti dengan cambuk dahan.
Memang saya masih ingat bagaimana gaya ayah mengacung-acungkan dahannya.
Tetapi yang lebih saya ingat adalah bahwa dahan itu tak pernah
benar-benar singgah di punggung saya. Saya baru sadar di hari ini, bahwa
ada jenis kebudayaan yang mengambil kemasan ancaman untuk membungkus kasih sayang.
Maka ketika DPR itu rujuk, saya juga sama tak kagetnya karena
sistem kejiwaan saya sudah lama menduga. "Tega sakitnya tak tega
matinya" telah menjadi budaya bersama yang membuat tata sosial kita
unik. Penuh amarah, tetapi juga penuh maaf. Penuh kerumitan tetapi penuh
kesederhanaan. Sebuah konflik yang rumit bisa lumer seketika hanya
karena salah satu mau mau mengalah bertandang ke rumahnya. Saya pernah
hendak menegur tetangga yang karena kebiasaannya berpotensi mengganggu
ketenteraman bersama. Tetapi bertepatan dengan niat saya menegur, orang
itu keluar dan mengantar oleh-oleh buah yang sangat saya suka. Konflik
selesai.
Terima kasih telah membaca artikel tentang Refleksi Prie GS : Manajemen Undur-undur di blog Refleksi Prie GS bila artikel ini bermanfaat silahkan bookmark halaman ini di web browser anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.